(klik disini untuk membaca “Warta Jemaat 2019: Part II”)
Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat-Nya, karena setelah melalui pergumulan dan doa yang cukup lama untuk menghadirkan Hamba Tuhan kedua, Sdr. Riggruben dapat hadir di tengah-tengah jemaat FeG Immanuel Berlin pada tanggal 7 Juni 2019. Kehadiran Sdr. Riggruben disini adalah untuk melakukan praktek kerja (magang) dan juga untuk lebih mengenal jemaat lebih dalam lagi.
Dalam masa praktek selama 2 bulan ini, Sdr. Riggruben turut andil dalam melakukan kegiatan dan melayani di jemaat FeG Immanuel Berlin yaitu dalam memimpin liturgi dan membawakan khotbah di kebaktian hari Minggu, menjadi pembicara di SOuL, mengunjungi Hauskreis-Hauskreis juga membawakan renungan, mengikuti semua grup PA pria, serta mengikuti kebaktian anak-anak. Tak hanya melayani di Berlin saja, Sdr. Riggruben juga melakukan pelayanan di kota-kota sekitar, yaitu di Persekutuan Aachen, Persekutuan Hannover, juga di FeG Maranatha Hamburg.
Pada tanggal 14 Agustus 2019, Sdr. Riggruben telah menyelesaikan praktek kerjanya dan kembali ke Indonesia. Jemaat tentunya mengucap syukur atas pelayanan yang dilakukan dan memiliki kesan yang positif selama 2 bulan ini. Kami yakin dan percaya bahwa dengan kehadiran Sdr. Riggruben menjadi Hamba Tuhan kedua nanti, Firman Tuhan dapat lebih luas lagi diberitakan, tak hanya bagi generasi muda namun juga bagi generasi senior.
Tanggal 23 Agustus 2019 yang lalu, Sdr. Riggruben telah menyelesaikan studinya di SAAT – Malang dan resmi menyandang gelar Sarjana Teologi (S.Th). Mari kita turut mendoakan panggilan dan pelayanan Sdr. Riggruben selanjutnya. Apabila Tuhan berkehendak, ia boleh kembali melayani di Berlin dan juga kota-kota pelayanan sekitar.
Tentunya jemaat juga ingin mengenal profil Sdr. Riggruben ini lebih dalam lagi. Mari kita melihatnya melalui profil dan hasil wawancara di bawah ini.
- Nama lengkap: Nehemiah Aletheo Riggruben
- Nama Panggilan: Rigg/Ruben/Riggruben
- Pendidikan: S1 Teologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) – Malang
- Hobi: Main bola (baik real maupun virtual), main boardgame, tidur siang
- Ayat favorit: Fil. 3:7-8
- Moto hidup: “To preach the gospel, to die, and be forgotten” (untuk memberitakan injil, untuk mati, dan untuk dilupakan)
1. Mengapa memilih untuk masuk sekolah teologi?
Jawabannya simpelnya adalah pengenalan saya akan Tuhan secara pribadi. Satu sisi, saya merasa tidak ada yang cukup besar yang bisa diberikan selain daripada hidup itu sendiri. Adapun titik-titik di mana saya semakin dikuatkan dalam panggilan adalah:
(1) Ada beberapa buku misionaris yang saya baca biografinya dan merasa tergairahkan untuk menjadi seperti mereka. Beberapa tokoh tersebut adalah Hudson Taylor, Bentara Kristus (Misionaris Inggris yang pergi ke Tiongkok), George Muller, (Orang Jerman yang mendedikasikan dirinya untuk membuka panti asuhan, pelajaran iman darinya sangatlah berharga), dan David Brainerd (Misi kepada suku Indian).
(2) Saya juga berhutang banyak kepada pemikiran Pdt. Yohan Candawasa dalam buku (Tinggal dalam Hadirat-Mu, Dukaku Tempat Kudus-Mu, Mendapatkan-Mu dalam kehilanganku, Perjumpaan dengan Salib Kristus, Merupa Hidup dalam Rupa-Nya) dan khotbah-khotbahnya. Sebenarnya beliau tidak secara langsung memberikan tantangan dalam memanggil seseorang melayani Tuhan sepenuh waktu, namun beliau dalam pendekatan spiritualnya membantu saya untuk melihat Tuhan secara murni tanpa embel-embel. Salah satu penekanan yang ia sering sampaikan adalah mengalami Kristus dalam penderitaan. Jika Kristus saja mau menderita untuk pada akhirnya saya bisa kembali berjumpa dan mengalami-Nya, masakan hidup saya justru lebih didorong oleh hal-hal yang sifatnya kesuksesan dan kelimpahan?
(3) Dukungan dari lingkungan sosial yang mendorong saya untuk mengambil jurusan dan dipakai secara efektif untuk pelayanan sebagai hamba Tuhan penuh waktu. Hal ini juga menjadi penting karena saya adalah tipe orang yang kurang percaya diri terhadap sesuatu. Namun Tuhan memakai orang-orang di sekitar saya, seperti pembina di gereja, teman, juga keluarga yang pada akhirnya mendukung saya untuk menjadi hamba Tuhan dan masuk sekolah teologi.
2. Apakah tantangan terbesar ketika menempuh sekolah teologi?
Pembentukan karakter secara pribadi. Di seminari saya banyak berpikir, “Saya begini toh orangnya.” Semakin kenal Tuhan, semakin kenal (kebobrokan) diri. Terkadang ada perasaan tidak layak untuk melayani Tuhan. Saya merasa banyak ditempa oleh Tuhan lewat kehidupan berasrama dengan jajaran peraturannya, pelayanan dan praktikum di gereja-gereja, relasi dengan sesama, dan lainnya. Yet, by the grace of God (Namun, oleh karena kemurahan Tuhan – red) saya bisa menjalani itu semua dan terus menjalani pembentukannya sampai sekarang.
3. Bagaimana perasaan Sdr. Rigg ketika diminta untuk melakukan kerja praktek (praktikum) di Jerman?
Pertama kali cukup kaget. Sedikit share mengenai panggilan, saya pernah berdoa untuk pelayanan misi di Eropa dalam beberapa jangka waktu selagi saya di SAAT. Namun sejak saat itu, saya sudah tidak pernah mendoakannya. Sehingga waktu pertama kali Bu Rahmiati menghubungi saya untuk praktek di Jerman, perasaan saya cukup kaget. Tidak hanya kaget, saya juga merasa diingatkan kembali waktu saya berdoa bagi ladang di Eropa selama di seminari. Di situ saya kembali tertantang dan berdoa jika memang Tuhan berkehendak bagi saya untuk pergi. Namun, di sisi lain saya juga mengalami kekuatiran berhubung waktu itu saya juga sedang praktikum satu tahun di Sulawesi dan sering merasa kesepian karena jauh dari rumah. Jadi bisa dikatakan cukup gado-gado.
4. Apa yang mendorong Sdr. Rigg untuk melakukan pelayanan misi di Eropa selagi di Seminari? Mengapa bisa ada beban tersebut?
Pastinya beban itu datangnya dari Tuhan, namun ada fasenya saya cukup bisa merasakan di mana Tuhan menunjukkannya. Momentum tersebut sebenarnya sangat natural. Waktu itu saya membeli satu buku berjudul Renaisans, karya Os Guiness, saya membayangkan isi dari buku itu adalah mengenai sejarah pemikiran zaman renaisans, tetapi ternyata buku itu merupakan suatu encourage (dorongan-red) untuk mengembalikan kembali kekristenan di negara barat. Entah mengapa setelah membaca buku itu saya cukup berapi-api untuk mau mendoakan pelayanan di Eropa. Momentum tersebut juga cukup berdekatan dengan adanya forum Eropa sebagai bagian pelayanan Sunergon (Departemen Misi SAAT), terutama di negara Jerman.
5. Apa kesan pertama ketika pertama kali menginjakkan kaki di FeG Immanuel Berlin?
Jemaatnya hangat-hangat. Jemaat di sini sangat friendly dengan sesamanya, termasuk kepada saya saat itu. Bagi saya yang orangnya lebih pendiam, saya sangat diberkati dengan jemaat-jemaat yang demikian. Pertama kali datang, saya banyak disapa dan disambut oleh setiap jemaat di gereja ini. Terlebih yang berkesan adalah mereka juga mendoakan saya. Makasih ya.
6. Pengalaman apa yang paling berkesan selama melayani di FeG Immanuel Berlin dan kota sekitar?
Bagi saya hal-hal seperti percakapan dengan teman-teman jemaat menjadi hal yang paling berkesan. Salah satu target sederhana saya selama praktikum ini adalah mengenal jemaat. Saat mendengar cerita jemaat dan bercanda bersama mereka adalah momen-momen yang berkesan bagi saya secara pribadi (special thanks to: jemaat-jemaat yang pernah punya quality time bersama dengan saya, McD Zoo).
Kota-kota sekitar juga punya kesan tersendiri bagi saya. Melihat kehausan mereka akan kebenaran dan rindu akan persekutuan membuat saya semakin melihat bahwa ladang di Jerman ini sangatlah besar.
7. Hal apa yang sekiranya kurang berkesan dan perlu ditingkatkan selama mengerjakan praktikum di Berlin dan kota sekitar (masukkan untuk kami)?
Tentunya masih banyak hal yang saya belum ketahui dari gereja meskipun saya sudah 2 bulan di tempat ini. Namun jika boleh satu aspek yang ingin saya lebih lihat dari gereja ini adalah kegerakan doa jemaat (bukan doa pribadi). Bagi saya, tidak ada gereja yang lebih diberkati selain daripada gereja yang jemaatnya senantiasa berdoa. Ini juga yang menjadi karakteristik dari jemaat mula-mula. Secara konkret mungkin bisa dipikirkan lebih lanjut, namun melihat wadah yang sekarang ada, kita bisa terlibat dalam doa jemaat yang diadakan satu jam sebelum ibadah. Selain itu, saya juga berharap Hauskreis juga bisa memiliki fokus dalam kita bisa saling mendoakan dan berdoa syafaat.
8. Kesan dan pesan selama melayani di FeG Immanuel Berlin
Kesan: The memory of the righteous is a blessing (Prov. 10:7 – Amsal 10:7). Saya bersyukur kepada Tuhan ada kesempatan boleh bertemu saudara-saudara dalam tubuh Kristus di jemaat FeG Immanuel ini. Kedekatan antar jemaat baik yang masih muda, dewasa, hingga lanjut usia menjadi kesan tersendiri bagi saya dalam melihat gereja ini. Banyaknya wadah yang bisa digunakan untuk menjangkau juga merupakan hal berkesan bagi saya, seperti futsal, basket, bimbel, maupun band. Mengelilingi Hauskreis dan kelompok Pendalaman Alkitab (PA) juga membuat saya melihat jemaat ini memiliki kerinduan yang mendalam untuk bertumbuh bersama.
Pesan: Kenalilah Tuhanmu. Banyak hal yang manusia ingin kejar tetapi tidak tahu untuk apa, dan tidak sedikit orang setelah mendapatkan itu semua kemudian bertanya, “lalu apalagi?”, “udah itu aja?”. Banyak orang ingin kaya, setelah kaya tidak tahu untuk apa kekayaannya, banyak orang ingin hidup lebih lama, tetapi bingung setelah diberikan kehidupan yang lebih lama hidup itu dipakai untuk apa. Tentunya hal yang lebih esensial ini hanya dapat ditemukan saat kita mengenal Tuhan kita. Mengenal Tuhan selalu identik dengan mengenal diri, karena kita ini buatan tangan Tuhan. Jadi, pesan saya sederhana: jangan pernah tinggalkan Alkitab bahkan untuk satu hari!